Proses tamhish (seleksi) mau-tidak mau, suka-tidak suka merupakan sebuah keniscayaan. Ia ada, dan terus terjadi. Kalaulah pengawasan dan penilaian manusia itu terbatas, sehingga mengakibatkan proses tamhishkadang kurang selektif, Allah sendiri melakukan tamhish.
مَا كَانَ اللَّهُ لِيَذَرَ الْمُؤْمِنِينَ عَلَىٰ مَا أَنْتُمْ عَلَيْهِ حَتَّىٰ يَمِيزَ الْخَبِيثَ مِنَ الطَّيِّبِ ۗ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُطْلِعَكُمْ عَلَى الْغَيْبِ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يَجْتَبِي مِنْ رُسُلِهِ مَنْ يَشَاءُ ۖ فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ ۚ وَإِنْ تُؤْمِنُوا وَتَتَّقُوا فَلَكُمْ أَجْرٌ عَظِيمٌ
“Allah tidak akan membiarkan orang yang beriman dalam keadaan kamu berada, sehingga Dia (Allah) asingkan yang buruk daripada yang baik. Dan Allah tidak akan memperlihatkan hal-hal yang ghaib kepada kamu, tetapi Allah memilih sesiapa yang Dia (Allah) kehendaki di kalangan para rasul-Nya (para rasul Allah). Oleh itu berimanlah kepada Allah dan para rasul-Nya (para rasul Allah). Dan jika kamu beriman dan bertakwa, untuk kamu pahala yang besar.” (Ali Imran : 179)
Proses tamhish itu berjalan terus. Selama kehidupan masih ada, tamhish akan tetap setia mengiringinya. Ibarat biji-bijian yang berada di tempat penumbukan. Setelah biji-biji itu lumat ditumbuk, akan disaring. Butir-butir yang lolos dari saringan, dimasukkan kembali ke penumbukan untuk dihaluskan lagi, dan disaring kembali. Butir-butir yang kini lebih lembut itu dimasukkan penumbukan kembali untuk kemudian disaring kembali. Demikianlah seterusnya, hingga bendera iqamatud-dien ini hanya berhak dipegang oleh mereka yang betul-betul lolos seleksi.
Kelompok pemegang bendera terakhir ini, meminjam bahasa Sayyid Quthb rahimahullah, adalah orang-orang berhasil mencapai fase:
إِذَا خَلَصَتْ نُفُوْسُهُمْ مِنْ حَظِّ أَنْفُسِهِمْ
“Ketika jiwa mereka telah bersih dari keinginan untuk mendapatkan bagian bagi dirinya.”
Para rijal pengemban bendera iqamatud-dien yang sesungguhnya, mereka tidak memiliki ambisi dan keinginan pribadi. Jangankan ambisi… mengharapkan bagian yang seharusnya menjadi hak baginya dalam perjuangan ini pun, tidak pernah terbersit sama sekali. Itulah definisi paling mudah dari keikhlasan.
Sebagian Salaf, menggambarkan beratnya keikhlasan, “Menjadi ikhlas itu berat. Karena ia tidak akan mendapatkan bagian bagi dirinya sendiri.” Berat, sebab sepanjang sejarah, manusia dididik untuk selalu menuntut haknya. Tetapi itulah tuntutan risalah dan sunnatullah yang akan terjadi, mau-tidak mau… suka-tidak suka!
Oleh sebab itu, DR. Abdullah Azzam rahimahullahmenyebutkan di antara asas Tarbiyah Jihadiyah, yaitu:
تَجْرِيْدُ الدَّعْوَةِ عَنِ الْمَنَافِعِ الدُّنْيَاوِيَّةِ وَالثَّمَارِ الْقَرِيْبَةِ
“Membersihkan dakwah dari keinginan untuk mendapatkan manfaat-manfaat duniawi atau memetik buahnya dalam jangka dekat.”
Untuk menghasilkan kader-kader yang bersih dari keinginan untuk mendapatkan bagian dan tahan bersabar untuk tidak tergesa-gesa memetik buah, harus ada proses tarbiyah yang panjang. DR. Abdullah Azzam, dalam Tarbiyah Jihadiyahnya menyebutkan istilah طول الإحتضان (thuulul ihtidhaan, masa pengasuhan yang panjang).
Pemegang bendera terakhir tidak akan lahir melalui proses tarbiyah yang instan. Selain harus menempuh masa tarbiyah yang panjang, mereka harus lolos menghadapi ujian berupa inkhiraaful ushuur (silih bergantinya zaman). Siang malam boleh berganti, situasi dan kondisi dapat berubah. Tetapi iltizam para pemegang bendera terakhir itu tidak pernah bergeser dari al-haq dan pengikutnya.
Para shahabat dididik oleh Nabi SAW dalam berbagai masa. Dari 13 hingga 23 tahun. Di Mekah, selama 13 tahun mereka sudah berada di Darul Arqam bersama Nabi. Di Madinah, mereka pun shalat berjamaah 5 kali dalam 1 hari bersama Nabi SAW. Bersama Sang Murabbi, yang telaten mengawal mereka dalam setiap kehidupan yang mereka jalani. Meski jalan tarbiyah itu panjang, meski harus menempuh thuulul ihtidhan. (kiblat.net)
0 komentar:
Posting Komentar