Beberapa waktu yang lalu saya menerima beberapa lembar kopian yang berisi sekumpulan atsar dari Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu tentang Ar Rajul Al Makits dari seorang ikhwah. Rajul makits adalah tipikal mujahid –terutama para qoidnya - yang kita harapkan akan terlahir di jamaah-jamaah jihadiah masa ini. Hal ini dikarenakan mujahid yang berkualifikasi Rajul Makits inilah yang akan memenangkan peperangan melawan kekuatan kuffar betapa pun besarnya, berdasarkan perkataan Umar radhiyallahu ‘anhu.
Rajul Makits adalah tipikal mujahid yang matang dan teguh hati, teliti dan tidak mudah terprovokasi dan diperdayai oleh musuh. Untuk memberikan gambaran yang lebih gamblang tentang urgensi Rajul Makits dalam jihad di jalan Allah, saya menjelajahi berbagai situs untuk mendapatkan tulisan yang memadai. Alhamdulillah akhirnya didapatkan sebuah kajian singkat tentang masalah Rajul Makits yang didasarkan pada perang yang menentukan antara pasukan kaum muslimin dengan Persia yang ditulis oleh Syekh Hisyam An Najar berjudul ‘Ayyam Ramadhan Baina al Jisr wa al Buwaib’.
Saya berharap tulisan singkat ini semakin memperkokoh pendirian para aktifis jamaah jihadiyah terhadap pilihan jalan dan strategi jihad yang mungkin terkesan ‘kurang sungguh-sungguh dan lamban’ atau bahkan dinilai oleh orang-orang yang tidak mengerti sebagai para ‘qaidun’ (orang-orang yang berpangku tangan dari jihad) karena tidak nampak dari mereka ‘aksi-aksi yang terlihat’ sebagi bukti bahwa mereka betul-betul hendak berjihad.
Semoga tulisan ini menjadikan mereka tidak mudah terprovokasi oleh sekelompok kecil kaum muslimin yang semangat dan keberaniannya mendahului ketekunan, ketelitian dan kelengkapan dalam menyiapkan segala sebab yang akan mengantarkan kepada kejayaan Islam dan kaum muslimin
Pengantar Syekh Hisyam An Najar
Dua hari yang bersejarah dari hari-hari konfrontasi yang keras dengan Persia, di dalamnya banyak pelajaran yang layak untuk dikaji dengan cermat. Pada hari Al Jisr (perang di sebuah jembatan) telah dialami kekalahan besar yang menyakitkan dan memilukan hati yang menjadikan dua ribu pasukan kaum muslimin yang tersisa tenggelam secara mengenaskan hingga tidak seorang pun melihat mereka.
Pada hari perang Al Buwaib, dengan mengambil pelajaran dari pengalaman kekalahan tadi dan untuk meluruskan kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan maka melakukan kajian yang tepat mengenai kejiwaan musuh dan pengetahuan yang sempurna terhadap medan perang, perencanaan serta pencermatan dan pengalaman ternyata lebih dikedepankan daripada keberanian, sifat pantang mundur dan semangat berperang.
Perubahan kepemimpinan
Dahulu hasil dari pertempuran-pertempuran antara kaum muslimin dengan Persia semuanya kemenangan berada di pihak kaum muslimin di bawah kepemimpinan dua orang dari panglima tentara Islam yang paling mahir dan paling terkenal yaitu Khalid bin Al Walid radhiyallahu ‘anhu yang berjaya dalam 13 pertempuran yang beliau ikuti bersama kaum muslimin dan yang kedua adalah Al Mutsanna bin Haritsah, lelaki yang namanya terukir dalam memori bangsa Persia dan tidak akan pernah mereka lupakan.
Perkembangan medan pertempuran melawan Rumawi menuntut pemindahan Khalid bin Walid ke sana (Syam) bersama dengan sejumlah besar tentara Islam (hampir mencapai separonya) maka al Mutsanna bin Haritsah mengumpulkan pasukannya di perbatasan Irak dan pergi untuk mengemukakan persoalan itu kepada khalifah.
Umar Ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu telah mengambil alih urusan khilafah segera setelah wafatnya Abu Bakar. Dia tidak berlambat-lambat untuk meneruskan perjalanan dan berdiri untuk menyeru manusia melaksanakan jihad melawan Persia. Masyarakat saat itu ragu-ragu menyambut seruan tersebut karena Persia saat itu merupakan “lawan yang paling berat bagi kaum muslimin dalam peperangan karena besarnya kekuatan dan kekuasaan mereka!”
Sementara itu Abu Ubaid bin Mas’ud Ats Tsaqafi – yang menjadi perumpamaan dalam hal keberanian - adalah orang pertama yang menyambut seruan tersebut kemudian diikuti para sahabat yang ikut perang Badar.
Ketika Al Mutsanna melihat lambannya kaum muslimin menjawab seruan jihad (mobilisasi umum untuk jihad) tersebut ia berdiri berorasi di depan mereka untuk mengobarkan semangat mereka dalam berjihad.
Kaum muslimin meminta Umar untuk mengangkat seorang panglima perang dari kalangan para pendahulu dalam Islam dan hijrah namun Umar menolaknya. Beliau berkata, “Demi Allah, panji ini tidak akan diserahkan kecuali kepada yang paling awal menyambutnya!”
Maka Abu Ubaid ditunjuk menjadi panglima pasukan dan Umar berwasiat kepadanya dengan wasiat yang sangat berharga – andai saja Abu Ubaid mau mengamalkannya -. Umar radhiyallahu ‘anhu berkata kepadanya, “Dengarkanlah (pendapat) dari para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan sampai segala sesuatunya menjadi jelas. Sikap tergesa-gesa dalam peperangan akan menyebabkan kebinasaan dan peperangan itu tidak akan dimenangkan kecuali oleh lelaki yang matang (rajulul makits)”.
Abu Ubaid bin Mas’ud Ats Tsaqafi adalah seorang pria yang pemberani, bertakwa dan wara’ akan tetapi belum sampai pada level pengalamannya Khalid yang membuat beragam rencana sesuai dengan tuntutan masing-masing medan pertempuran dan mengubah keputusan-keputusannya serta menyesuaikan dengan arah perkembangan peristiwa dan perubahan keadaan.
Demikian pula Abu Ubaid belum sampai pada levelnya Al Mutsanna bin Haritsah yang berpengalaman dengan strategi Persia dan metode berperang mereka, mengetahui kekurangan mereka, makar dan tipuan mereka. Akan tetapi keberanian Abu Ubaid dan sifat pantang mundurnya serta kemenangannya dalam 3 pertempuran dan kembalinya dia ke setiap daerah yang dahulu kaum muslimin mengosongkan pasukannya dari daerah tersebut dengan pasukan berjumlah tidak kurang dari 10.000 orang, semua itu menjadikan Umar merasa tenang dengan keahlian Abu Ubaid dalam memimpin pasukan.
Evaluasi radikal dalam barisan Persia
Setelah kekalahan berulang-ulang yang dialami Persia di tangan kaum muslimin, Rustum mengambil sejumlah keputusan untuk mengembalikan kewibawaan militer Persia dan untuk menaikkan moral tempur yang runtuh di barisan pasukannya. Selain itu untuk menyelamatkan popularitasnya dan melindungi pusat kekuasaannya di dalam negri Persia. Rustum mencopot “Al Jalinus” sang panglima dari jabatannya dan menyingkirkannya dari kepemimpinan umum dan menunjuknya sebagai pembantu pemimpin umum (panglima tertinggi).
Kemudian dia menunjuk Dzul Hajib Bahman Jadzawaih sebagai pemimpin umum. Jadzawaih adalah orang yang sangat kuat, licik, cerdas dan banyak akal. Dia sangat membenci orang Arab dan kaum muslimin karena rasa sombong dan arogan. Dia dinamai dengan Dzul Hajib karena dia membalut kedua alisnya yang tebal supaya alisnya meninggi di atas kedua matanya karena rasa sombongnya.
Kemudian Rustum membekali pasukannya dengan senjata baru yaitu gajah. Dia memilih sendiri para komandan pasukan dan para ksatrianya. Karena pentingnya pertempuran ini Rustum memberikan bendera Persia yang besar yang terbuat dari kulit harimau. Bendera itu tidak akan dikeluarkan kecuali bersama para raja mereka dalam pertempuran-pertempuran yang menentukan.
Pelajaran Besar dari Ma’rokatul Jisr (Perang di Jembatan di Irak)
Abu Ubaid bin Mas’ud bersama pasukanya menyeberangi sungai Eufrat dari arah Al Hirah dan mendirikan kemah di pinggir-pinggir padang pasir. Tempat semacam ini merupakan tempat paling afdhal untuk berperang berdasarkan pengalaman kaum muslimin, kemajuan mereka dan kepiawaian mereka yang tinggi dalam peperangan di padang pasir dan medan yang luas serta karena kemudahan dalam melakukan hit and run dimana itu merupakan metode perang kaum muslimin yang utama. Orang-orang Persia menempatkan pasukanya di sebelah timur sungai Eufrat berhadapan dengan kaum muslimin. Dzul Hajib mengirim surat kepada Abu Ubaid yang isinya:
“ Kalian yang menyeberang ke arah kami dan kami biarkan kalian menyeberang atau kalian biarkan kami menyeberang ke arah kalian hanya para penduduk Persia akan menghina kalian sebagai para pengecut!”
Sayang sekali, Abu Ubaid termakan oleh surat yang provokatif tersebut. Ia dikuasai oleh emosi, dorongan semangat dan keberanian sehingga dia tidak mau mendengarkan kepada pendapat yang rasional dan bijak. Dia tidak cermat dan tidak mampu bersabar. Dia tidak mau mendengarkan nasehat para komandan pasukannya diantaranya Sulaith bin Qais Al Badri.
Para komandannya telah mengingatkannya agar tidak menyeberangi sungai tersebut dan menasehatinya agar tetap menunggu para tentara Persia agar medan pertempuran menjadi lebih luas, lebih mudah dan lebih sesuai dengan metode perang hit and run yang dikuasai kaum muslimin dengan baik. Demikian pula, hal ini akan memudahkan masuknya bantuan kepada kaum muslimin.
Mereka mengingkatkan Abu Ubaid tentang konsekuensi dari menyeberangi sungai dengan para pasukannya karena Persia akan mengepung mereka di tempat yang sempit dan di belakang mereka akan ada penghalang air yang besar yaitu sungai Eufrat. Namun demikian Abu Ubaid sudah sangat berkeinginan untuk segera menyerang dan lupa kepada wasiat khalifah kaum muslimin kepadanya sehingga mengambil keputusan yang salah. Dia berkata, “ Mereka tidak akan pernah menjadi orang yang lebih pemberani daripada kita dalam menghadapi kematian. Kita akan mendatangi mereka!”
Persia membiarkan kaum muslimin menyeberangi sungai. Begitu kaum muslimin seluruhnya telah tiba di bagian timur sungai Eufrat, tentara Persia menyerbu mereka dengan seluruh kekuatannya khususnya senjata gajah yang menggoncang kuda-kuda kaum muslimin sehingga kuda-kuda tersebut berlarian kesana kemari. Gajah-gajah tersebut mengoyak barisan kaum muslimin sehingga mereka merasakan tekanan yang sangat berat dan menderita kerugian besar.
Maka berdirilah Abu Ubaid dengan keberaniannya yang telah dikenal sambil menyeru kaum muslimin,” Kepung gajah-gajah itu!” maksudnya kepunglah dan potonglah pengikat pelana yang ada diperutnya agar para komandan dan ksatria perang yang menunggangi gajah tersebut jatuh. Perang terus berlanjut dengan sengit diantara kedua belah pihak akan tetapi jalannya peperangan berada di pihak Persia dikarenakan banyaknya pasukan muslimin yang terbunuh oleh gajah – gajah tersebut.
Panglima perang kaum muslimin melakukan operasi berani mati !!!
Ketika Abu Ubaid Ats Tsaqafi radhiyallahu ‘anhu menyaksikan apa yang menimpa kaum muslimin di bawah kaki para gajah itu, ia maju melakukan aksi kepahlawanan yang langka. Ia bertanya kepada para tentaranya tentang titik lemah gajah yang bisa mengakibatkan kematiannya. Para tentaranya menjawab, “ belalainya”. Lalu Abu Ubaid memilih seekor gajah berwarna putih yang badannya sangat besar yang dipakai orang Persia dan kelihatanya gajah tersebut adalah pemimpin gajah-gajah yang lain. Kemudian Abu Ubaid menunjuk saudaranya, Al Hakam sebagai komandan jika dia gugur syahid dan jika Al Hakam gugur syahid maka diganti anak Abu Ubaid, Wahab, lalu ditunjuk lagi sampai tujuh komandan yang terakhir adalah Al Mutsanna bin Haritsah.
Abu Ubaid maju ke arah gajah yang besar itu dengan semangat heroisme dan keberanian yang tiada bandingannya. Gajah itu menghindar dari pukulan-pukulan pedang Abu Ubaid dan membanting Abu Ubaid ke tanah lalu menginjaknya dengan kakinya yang berat sehingga gugurlah ia sebagai syahid di bawah kaki gajah Persia. Kemudian kaum muslimin berperang di atas mayatnya sehingga tidak diambil oleh orang-orang Persia. Setelah itu saudaranya, Al Hakam mengambil alih posisinya akan tetapi dia dengan cepat mati syahid dan demikian pula dengan anaknya, Wahab bin Abu Ubaid serta enam komandan lainya yang ditunjuk oleh Abu Ubaid. Kemudian bendera diserahkan kepada singa Irak dan Penakluk Persia, sang pahlawan besar “Al Mutsanna bin Haritsah”.
Kesalahan fatal yang dilakukan salah seorang tentara Islam
Pada saat Al Mutsanna bin Haritsah berusaha untuk menepatkan posisi-posisi, mengatur barisan dan menyeru orang-orang yang berlarian agar berteguh hati, tiba-tiba seorang lelaki yang ceroboh di antara kaum muslimin namanya Abdullah bin Murtsad Ats Tsaqafy mulai bekerja untuk merobohkan dan menghancurkan jembatan – satu-satunya jalan untuk melakukan withdrawal (pengunduran pasukan dari medan tempur) dan kemudian dia menyatakan, “Wahai kaum muslimin! Matilah kalian semua sebagaimana matinya para pemimpin kalian!!”.
Aksi dari tentara yang impulsif (gegabah) ini, yang dia niatkan untuk mendorong kaum muslimin agar tetap teguh dan membakar semangat mereka untuk berperang dalam situasi yang sulit dan berat ini merupakan salah satu dari sekian kesalahan fatal yang dilakukan dalam pertempuran ini yang menyebabkan kekalahan kaum muslimin dan berlipatganda korban yang jatuh dari kaum muslimin.
Sungguh, telah terjadi kegoncangan yang besar di barisan kaum muslimin dan telah tenggelam lebih dari 2000 pasukan muslimin di sungai itu setelah Persia mengkonsentrasikan serangannya kepada kaum muslimin untuk memusnahkan mereka. Maka aksi ini – yang kelihatan heroik – merupakan pelayanan secara cuma-cuma kepada Persia yang berusaha keras untuk mewujudkan targetnya setelah kehancuran jembatan itu. Kemudian Al Mutsanna radhiyallahu ‘anhu dan satu kompi pasukannya segera memperbaiki jembatan yang rubuh itu dan berusaha untuk melindungi jembatan tersebut sehingga kaum muslimin menyeberang ke tepi sungai yang lain tanpa kerugian. Beliau terluka berat dalam peristiwa tersebut yang menyebabkan wafatnya beliau dua bulan kemudian.
Usai sudah pertempuran ini dengan kekalahan yang mengerikan bagi kaum muslimin. Sungguh telah syahid separo dari mujahidin dengan jumlah mencapai 10.000 pasukan, di antara mereka 7 komandan dan Al Mutsanna bin Haritsah terluka di pertengahan upayanya untuk keluar dari pertempuran dengan kerugian paling kecil yang memungkinkan dan menyelamatkan nyawa para tentara Islam yang tersisa.
Kekalahan itu meninggalkan pengaruh yang besar dalam jiwa kaum muslimin sampai-sampai sekitar 2000 orang tentara Islam melarikan diri di padang pasir dan bersembunyi di sana dalam keadaan gelisah melihat apa yang terjadi dan tidak tersisa bersama Al Mutsanna kecuali 3000 tentara !!
Demikianlah kita belajar dari peristiwa ini banyak pelajaran.
Kita belajar betapa daruratnya rencana yang baik, bersikap cermat dan berpikir serta melakukan kajian yang mendalam sebelum mengambil keputusan-keputusan yang sangat penting.
Kita belajar betapa daruratnya mempelajari musuh dan metode berpikir serta rencana-rencana mereka.
Kita belajar betapa daruratnya tidak mengabaikan musyawarah dan berbahayanya menggunakan pendapat sendiri. Abu Ubaid rahimahullah adalah seorang yang pemberani, pantang mundur dan mencintai syahadah di jalan Allah akan tetapi dia belum mempelajari medan perang secara memadai dan belum memperhitungkannya dengan teliti. Selain itu dia menyelisihi para komandan yang bersamanya yang menasehati dirinya untuk tidak menyeberangi sungai yang menyebabkan kekalahan dan kerugian.
Kemenangan jelas memerlukan sikap pantang mundur dan keberanian serta semangat dan heroisme yang tinggi akan tetapi dengan perencanaan, kajian, pengamatan, kecerdasan dan ketelitian dan bukan dengan sikap gegabah dan ceroboh yang mengakibatkan kehancuran pasukan dan menyebabkan kekalahan.
Operasi Raid (kilat) di Alis Shughro
Dalam sebuah parade pasukan yang singkat dan dalam rangka merayakan kemenangan perang Al Jisr dalam satu hari, keluarlah dua orang komandan dari para komandan paling terkemuka di Persia yaitu Jaban dan Maradansyah untuk berjalan-jalan dengan pengawalan yang kurang di daerah Alis. Maka Al Mutsanna bin Haritsah yang telah diberitahu oleh intelijennya mengenai kabar keluarnya mereka, segera bergerak dengan sekelompok pasukannya yang terlatih untuk menawan dua komandan besar tersebut dan segera membunuh mereka untuk mengirim pesan kepada Persia dengan tinta darah yang isinya:
“ Kami masih tetap berada di sini. Kami tidak lari dari medan perang dan kami, meski hanya berjumlah 3000 orang saja, masih sanggup untuk bertahan, siap menghadapi tantangan dan siap berhadapan di medan laga ! “
Persiapan baru
Kekalahan dalam peristiwa Al Jisr sangat berat dirasakan oleh kaum muslimin. Sehingga Umar Ibnul Kaththab radhiyallahu ‘anhu mengumumkan bahwa dirinya sendiri akan pergi untuk memerangi Persia. Setelah itu bergeloralah semangat dalam jiwa kaum muslimin dan berbondong-bondonglah mereka untuk berangkat berjihad di jalan Allah setelah dikuasai rasa ragu dan enggan. Al Mutsanna mengirim utusan kepada orang-orang yang lari yang telah runtuh moral juang mereka dan mengingatkan mereka dengan kejadian Uhud bagaimana kaum muslimin setelah menderita kekalahan tidak berhenti dan tidak putus asa. Beliau juga mengingatkan mereka dengan kemenangan-kemenangan kaum muslimin di bawah kepemimpinan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah kekalahan Uhud.
Dengan demikian Al Mutsanna telah mengembalikan rasa percaya diri ke dalam jiwa mereka dan mengembalikan ke dalam barisan pasukan kaum muslimin keyakinan yang lebih besar, kemauan yang lebih kuat dan tekad untuk membalas kematian saudara-saudaranya. Di pihak lain, Rustum pemimpin Persia telah menyiapkan pasukan yang paling kuat yang terdiri dari 100.000 pasukan kavaleri dan 50.000 pasukan infantri di bawah komando panglima Persia yang terkenal Mahran bin Badzan. Pasukan kaum muslimin telah menempati suatu daerah yang disebut dengan Al Buwaib dekat dengan kota Kufah. Jumlah mereka hanya 20.000 orang saja di bawah kepemimpinan seorang pahlawan Panglima Al Mutsanna bin Haritsah.
Al Mutsanna bin Haritsah meluruskan kesalahan-kesalahan dalam Ma’rakah Al Jisr
Al Mutsanna bin Haritsah radhiyallahu ‘anhu memilih daerah Al Buwaib sebelah barat sungai Eufrat. Tempat itu adalah tempat yang luas terbentang yang cocok untuk metode serangan-serangan dadakan dan hit and run yang dikuasai kaum muslimin. Pada saat yang sama, itu merupakan lokasi yang tepat untuk mendapatkan bantuan dan dukungan dengan cepat dan mudah.
Pada tanggal 14 Ramadhan 14 H, Mahran bin Badzan mengirim surat kepada Al Mutsanna untuk memprovokasinya agar menyeberangi sungai supaya medan pertempuran berada di seberang sungai bagian timur dan agar kesalahan Abu Ubaid terulang dan kaum muslimin akan terkepung antara tentara Persia dan sungai Eufrat. Namun Al Mutsanna memerintahkan pasukannya agar bersabar dan mengingatkan mereka dengan wasiat Amirul Mukminin Umar radhiyallahu ‘anhu setelah kekalahan di Al Jisr ketika itu Umar berkata, “Janganlah kaum muslimin menyeberangi laut jangan pula melintasi jembatan kecuali setelah kemenangan”. Al Mutsanna kemudian memprovokasi panglima Persia sehingga dia menyeberangi sungai beserta seluruh pasukannya ke medan tempur di bagian barat sungai Eufrat di wilayah Al Buwaib.
Bertemulah dua pasukan tersebut. Bertempurlah Al Mutsanna dalam barisan pasukan meskipun mengalami luka berat yang dia alami dalam perang Al Jisr sehingga para tentaranya berkata kepadanya, “ Sungguh anda telah berbuat adil kepada kami dalam perkataan dan perbuatan.”
Ketika saudara kandungnya yaitu sang pahlawan, komandan para ksatria Mas’ud bin Haritsah gugur syahid dan dia merasakan adanya kemunduran kaum muslimin dan kelemahan mereka dia berseru kepada mereka, “Wahai kaum muslimin! Jangan kalian merasa ngeri dengan kematian saudaraku karena kematian orang-orang pilihan dari kalian adalah semacam ini.”
Ketika dia melihat ada kekurangan di barisan salah satu kompi pasukan ia mengutus seseorang untuk mengatakan kepada mereka, “Sesungguhnya sang panglima menyampaikan salam kepada kalian dan beliau berkata, “Jangan permalukan kaum muslimin hari ini!” Setelah itu barisan kompi pasukan tersebut kembali rapi dan jadilah kelompok tersebut sebagai kelompok pasukan yang paling garang dalam pertempuran.
Pertempuran semakin sengit, suara-suara kesombongan dan arogansi mereka semakin meninggi. Ketika Al Mutsanna mendengar hal ini ia berkata kepada pasukannya, “Sesungguhnya apa yang kalian dengar itu hanyalah kegagalan maka lazimilah sikap diam dan bersuaralah pelan saja.”
Al Mundzir bin Hisan bin Dhiror Adh Dhabbi dan Jarir bin Abdillah Al Bajalli menyerang Mahran panglima Persia dan mereka berdua berhasil membunuhnya. Ketika pasukan Persia mengetahui terbunuhnya panglimanya, mereka segera melarikan diri. Kemudian Al Mutsanna dan kaum muslimin mengejar mereka, merobohkan jembatan dan menghalangi mereka dari melarikan diri sehingga mereka tidak bisa menyusun kembali barisannya. Jumlah pasukan Persia yang tewas mencapai lebih dari 100.000 orang.
Demikianlah perang Al Buwaib yang merupakan koreksi atas kesalahan-kesalahan yang kaum muslimin serta para komandannya terjerumus di dalamnya dan sebagai pengambilan pelajaran dari pengalaman pahit dalam peristiwa Al Jisr serta sebagai pembalasan bagi para syuhada’ kaum muslimin serta sebagai pembuka bagi penaklukan-penaklukan besar yang diraih kaum muslimin setelah itu.
Penutup
Bila tulisan ini benar adanya maka itu semata dari rahmat dan karunia Allah Ta’ala dan bila ada kesalahan dan penyimpangan maka itu dari kami dan dari syaithan. Allah dan rasul-Nya berlepas diri darinya.
Oleh: Abu Abdullah
Naskah asli Syekh An Hisyam An Najjar bisa dilihat di:
http://www.egyig.com/Public/articles/fromhistory/11/51538074.shtml
0 komentar:
Posting Komentar