Ibnu Taimiyah dikenal sebagai ulama yang cukup produktif melahirkan karya. Ia juga dikenal mujahid. Nahi munkarnya tidak hanya dilakukan dengan lisan, tulisan tapi juga fisik. Pernah mengikuti peperangan melawan penjajah Tartar. Karya besarnya diselesaikan justru di saat ia mendekam di penjara.
Sejak kecil ia dibesarkan dilingkungan para ulama. Ayahnya Syihabuddin bin Taimiyah adalah seorang Syaikh, hakim, dan khatib. Kakeknya Majduddin Abul Birkan Abdussalam bin Abdullah bin Taimiyah al-Harrani adalah seorang ulama yang menguasai fiqih, hadits, tafsir, ilmu ushul dan penghafal al-Qur’an (hafidz). Adik laki-laki Ibnu Taimiyah, syaraf ad-Din Abd Allah ibn Abd al-Halim, menjadi seorang ahli ilmu faraidh (waris). Ibnu Taimiyah lahir di Harran Turki tapi besar di Damaskus hingga menjadi seorang Syaikh di pusat negeri Syam ini. Beliau lahir pada 10 Rabiul Awwal tahun 661 H/ 22 Januari 1263.
Pada masa Ibnu Taimiyah berumur enam tahun, kota Baghdad dan sekitarnya mendapatkan serangan brutal dari tentara Tartar. Beberapa wilayah dinasti Abbasiyah porak-poranda. Padahal, Baghdad waktu itu menjadi pusat peradaban Islam. Karena situasi yang buruk, maka orang tua Ibnu Tamiyah membawanya ke kota Damaskus, yang relatif lebih aman serta baik lingkungan ilmunya. Ia hijrah bersama orang tua dan seluruh anggota keluarganya dengan membawa gerobak-gerobak yang berisi buku-buku warisan leluhurnya.
Perjalanan hijrahnya ke Damaskus cukup sulit. Tentara Tartar memusnahkan kitab-kitab umat Islam. Maka, keluarga Ibnu Taimiyah menyiasati menumpuk kitab-kitab yang diangkut dengan gerobak itu di bawah pasir. Untuk menyelamatkan kitab-kitab penting warisan leluhur.
Begitu menetap di Damaskus, ia bertemu dengan guru-guru besar bidang tafsir, hadis, fikih, akidah, nahwu dan lain sebagainya. Di kota ini, Ibnu Taimiyah masuk Perguruan Imam Hanbali yang didirikan oleh Abu Faraj Abdul Wahid al-Faqih Al-Hambali, seorang ulama dari madzhab Hanbali. Perguruan ini cukup terkenal di negeri Syam.
Dalam beberapa riwayat sejarah, pada masa itu kaum Muslimin mengalami berbagai krisis, baik politik maupun agama. Sekolah madzhab Hanbali menemukan momentumnya pada masa itu. Sekolah Abu Faraj, menjadi tujuan utama negeri Syam. Banyak pelajar yang haus tradisi keilmuan. Di lingkungan ini, Ibnu Taimiyah tumbuh dan mengembangkan keilmuan.
Ia mengkaji musnad Imam Ahmad sampai beberapa kali. Ia dikenal memiliki semangat pantang menyerah. Cukup sering Ibnu Taimiyah muda menghadiri majelis-majelis orang dewasa untuk mengambil ilmunya, tanpa rasa canggung. Bahkan aktif berdiskusi di majelis itu bersama para guru-guru dan orang dewasa.
Suatu kali ketika ia masih kanak-kanak, pernah ada seorang ulama besar dari kota Aleppo yang sengaja datang ke Damaskus khusus untuk melihat Ibnu Taimiyah yang kecerdasannya menjadi buah bibir. Setelah bertemu, ia memberikan tes dengan cara menyampaikan belasan matan hadits sekaligus. Ternyata Ibnu Taimiyah mampu menghafalkannya secara cepat dan tepat. Begitu pula ketika disampaikan kepadanya beberapa sanad, iapun dengan tepat pula mampu mengucapkan ulang dan menghafalnya, sehingga ulama tersebut berkata: “Jika anak ini hidup, niscaya ia kelak mempunyai kedudukan besar, sebab belum pernah ada seorang bocah sepertinya”.
Selain mempelajari musnad Imam Ahmad, ia mengkaji kitab kutubus sittah dan mu’jam al-tabrani al-kabir. Kecenderungannya ia fokus di ilmu hadis dan akidah. Ketia usianya 19 tahun ia telah diberi izin gurunya untuk memberi fatwa. Semenjak itulah ia menjadi terkenal dan menjadi pusat perhatian para pengikut madzhab Hanbali. Dan karya-karyanya mulai ia tulis sejak usia muda ini. Diceritakan, sehari semalam ia mampu menulis empat buah kurrosah (buku kecil) yang memuat berbagai pendapatnya dalam bidang syari’ah. Ibnu Wardi menuturkan dalam Tarikh Ibnul Wardi bahwa karangannya mencapai lima ratus judul. Yang paling terkenal adalah Majmu’ al-Fatawa.
Karya-karyanya juga ia tulis di sela-sela ia berjihad. Ia pernah mempimpin sebuah pasukan melawan tentara Tartar yang ketika itu tentara penjajah asal Mongolia hendak memasuki kota Damaskus. Ia memang memiliki kepribadian keras, pantang menyerah dan kuat memegang satu prinsip. Pada tahun 1299 M, kota Syakab, dekat Damaskus, diserang tentara Mongol. Dalam pertempuran itu, Ibnu Taimiyah dan pasukannya berhasil memenangkan perang. Pada Februari 1313 M, beliau juga bertempur di kota Jerussalem melawan tentara Kristen dan mendapat kemenangan.
Ia pernah dipenjara. Di balik jeruji besi ini ia menyelesaikan sebuah karya. Justru di penjara Ibnu Tamiyah merasa memiliki banyak waktu dan kesempatan untuk menulis karya. Namun, di masa akhir usianya ia juga dipenjara. Di masa ini ia tidak memiliki kesempatan untuk menulis kitab. Sebab seluruh pena, tinta, kertas dan buku dirampas aparat. Akhirnya, ia tidak bisa lagi membaca dan menulis buku. Gelarnya adalah Syaikhul Islam diberikan para umat Damaskus karena ia menjadi guru besar para kaum Muslimin di negeri Syam
Di penjara ia sampai wafat di dalam tahanan Qol’a Damaskus. Muridnya, Ibnu Qoyyim, mengkisahkan bahwa Ibnu Tamiyah meninggal di saat membaca al-Qur’an surat al-Qomar. Ia berada di penjara ini selama dua tahun tiga bulan dan beberapa hari, mengalami sakit dua puluh hari lebih. Ia wafat pada tanggal 20 DzulHijjah tahun 728 H, dan dimakambkan pada waktu ashar di samping makam saudaranya Syaikh Jamal al-Islam Syarafuddin.
Meski ia dimusuhi pemerintah, namun jenazahnya disalatkan di masjid Jami`Bani Umayah sesudah salat Zhuhur dihadiri para pejabat pemerintah, ulama, tentara serta para penduduk. Konon, panjang iring-iringan pengantar jenazahnya melebihi pengiring jenazah Imam Ahmad bin Hanbal.
BumiSyam.com
0 komentar:
Posting Komentar