Membaca “Inside Jihad” karya Omar Nasiri, intel Prancis yang menusup ke sel Al-Qaeda di kamp Afghan, saya banyak hal yang menarik dari buku ini. Antara lain adalah cerita bagaimana ia menyusup dan mengikuti pelatihan militer. Meski agak memalukan karena yang memberi info adalah seorang mujrim, tapi deskripsi-deskripsi yang ia tulis sangat menarik.
Secara positif, saya jadi tahu lebih gamblang ihwal laboratorium besar bernama Afghan; bahwa nun jauh di sana sekelompok umat bekerja dengan sangat serius, lengkap dengan segala fasilitas persenjataan modern. Himpunan muslim dari berbagai latar belakang suku dan bahasa, tengah melebur diri menjadi satu suku; suku tuntas dan suku mujahid. Ada magma di sana.
Otak kiri saya berbicara dan otak kanan berkelana; fenomena apa ini? Adakah mereka adalah eksistensi dari janji Rasul tentang thaifah manshurah? Merekakah kelompok inti umat ini? Adakah mereka jenis “cagar alam” yang tak bisa dipunahkan, paling tidak ideologinya? Apa rahasia besar Allah dibalik fenomena ini? Adakah mereka entitas yang selalu memenangkan peperangan?
Membaca tulisan Omar Nasiri ini bak menonton urutan serial pertunjukan ‘maha dahsyat’, saya mendapat release terbaru Al-Qaeda media Ramadhan 1428 H. Aiman Adz-Dzawahiri dengan ditemani buku-buku dan sepucuk Kalasinkhov tengah berorasi. Permunculannya kali ini seolah tengah mengejek Bush bahwa ia sangat santai menghadapi tekanan Amerika. Back-drop syutingnya memberi pesan kuat yang lazim disebut dalam buku-buku siyayasah syar’iyyah bahwa agama ini harus ditopang dua hal: Kitab dan Pedang.
Aiman Adz-Dzawahiri tengah menyampaikan progress report perlawanan globalnya di seluruh dunia. Dimulai antara lain dengan tayangan sebuah tekad koalisi antara dua kekuatan besar: Thaliban dan Al-Qaeda. Thaliban berposisi sebagai anshar sementara Al-Qaeda sebagai muhajir. Al-Qaeda menegaskan tekadnya untuk sami’na wa-atha’na kepada Amirul Mukminin: Mullah Umar, sementara Thaliban yang diwakili Mullah Dadullah bertekad menjadikan Afghan sebagai parit perlindungan pagi mujahidin seluruh dunia. Sebuah kekuatan yang tidak bisa dianggap enteng. Selanjutnya Aiman menyampaikan permunculan gerakan perlawanan global di berbagai penjuru dunia. Dimulai dari Irak; Somalia, Maghribi, Palestina dan lain-lain.
Ya.. bak sebuah urutan serial, kini bukan sekadar deskripsi normatif seorang Omar Nasiri di era 90-an, tapi sudah dalam bentuk aktualisasi. Release ini menegaskan fenomana ‘istikhdamul-quwwah’ yang lebih terprogram dan terorganisir. Jika selama ini saya hanya menduga mereka terpimpin secara ideologis, tapi kali ini saya harus mengakui mereka mulai terpimpin secara siyasi. Nampaknya, tren ke depan kelompok ini akan mengisi lakon utama sebagai kelompok perlawanan terhadap adikuasa di dunia ini.
Tiba-tiba ingatan saya kembali ke belakang, pada ruang dan waktu saya berada. Di bumi saya Indonesia, pernah tercatat sebuah perlawanan anak bangsa dengan jalan pedang terhadap pemerintahnya yang dinilai sekuler. Kelompok itu menamakan diri Negara Islam Indonesia atau NII. Pasca ditangkapnya sang Imam; Kartosuwiryo, gerakan ini menjelma menjadi gerakan klandestin. Sayang, dalam perjalanan gerakannya, qiyadah yang sudah menjadi tua, kurang bisa mengikuti transformasi. Mereka sering terjebak pada kebanggaan nostalgia sejarah. Tidak ada basis pemikiran yang dibangun secara kuat dan permanen, kecuali hanya dogma global bernama jihad. Kultur yang dibangun pun tidak nyambung dengan ruang di mana mereka berada hingga memaksakan ruang negara ke ruang gerakan. Budaya mencuri pun merajalela atas dalih fa’i.
Kelompok muda gelisah. NII dinilai sudah tidak menjawab tuntutan zaman. Ada yang kemudian bermetamorfosa menjadi gerakan tarbiyah, dan ada pula yang memilih pergi ke Afghanistan untuk berjihad. Dalam sebuah kesempatan, saya pernah mewawancarai Abu Rusydan, sosok yang didakwa sebagai petinggi Jamaah Islamiyah. “Apakah Abdullah Sungkar memberangkat muridnya ke Afghan melalui jalur NII?” Ia menjawab: “Tidak, justru NII nunut ke beliau.” “Apa latar belakang AS kemudian memisahkan diri dari NII?” tanya saya: “NII dinilai sudah tidak mampu menjawab persoalan jihad aktual masa itu.”
Transformasi begitu penting, karena sebuah ideologi diajarkan bukan untuk mengisi ruang kosong. Kita bisa berkaca pada perjalanan Rasulullah. Dalam buku sirah, selalu disebutkan era pra kenabian dan pasca kenabian. Hal yang menegaskan bahwa Rasulullah itu menjawab sesuatu; Ada masalah sosial yang disolusi. Dalam konteks tulisan ini saya hanya ingin menyampaikan; mari kita amati “fenomena perlawanan global” ini. Untuk selanjutnya mencoba menyinkronkan “takwin quwwah” -sebagaimana grand umumnya gerakan di Indonesia- dengan “istikhdam quwwah”. Tentu ini bukan hal gampang karena terkait bagaimana menyinkronkan idealisme dengan istitho’ah.
“Perlawanan global” ini tidak lahir serta-merta. Usamah bin Ladin telah lama merintisnya. Ia juga bukan jenis perlawanan sporadis, tapi didesain memiliki daya kenyal yang lama. Ini menarik untuk dicermati. Qiyadah harakah di Indonesia harus memiliki waktu khusus untuk mencermati hal ini di tengah kesibukan pentadbiran. “Perlawan global” ini dibangun oleh ideologi, maka tidak cukup bagi qiyadah dari hanya sekadar mendengar dan membaca buku propaganda mereka. Langkahnya sudah harus lebih maju untuk mengunyah 36 kali dengan segenap kritik hingga beroleh gambar besar dan gambar kecilnya. Informasi gerak-geriknya juga tidak cukup diakses dari media umum yang penuh distorsi, apalagi hanya kebetulan ada yang memberi tahu, tapi harus digali melalui sumber eksklusif yang akurat, juga dengan segenap analisa kritis.
Pendek kata, qiyadah harus melakukan ‘investasi’ pada ranah pengkajian ini untuk menajamkan mata dan telinga. Jika selama ini gerakan-gerakan di Indonesia tidak eman berinvestasi gedung tinggi sebagai sarana pendidikan, tidak ada salahnya berinvestasi besar pada pengkajian dan penelitian.
NII harus membayar dengan ditinggalkan oleh kader mudanya yang potensial akibat tidak mengikuti transformasi. Meski demikian, tentu ‘pengamatan’ di sini bukan sekadar mengikuti tren. Ada yang lebih mendasar dari itu semua. Apa itu? Gerakan yang dalam proses “takwin quwwah” tidak boleh tenggelam pada i’dad tanpa batas ukuran. Karena sesungguhnya, ditarik dari sisi mana pun “istikhdam quwwah” itu wajib; kadang wajib ain dan kadang wajib kifayah.
Tidak ada opsi yang lain. Alasan yang dibenarkan bagi harakah sekarang untuk bergeser dari istikhdam ke takwin adalah; ‘adamul isthitha’ah (tidak ada kemampuan). Maka, menjadi menarik mengamati sebuah gerakan yang tengah ‘istikhdam quwwah’ untuk beroleh pembanding.KIBLAT.NET
0 komentar:
Posting Komentar