Senin, 22 Juli 2013
Suriah kini menjelma bagai gadis molek “kembang kawasan” Timur Tengah. Semua aktifis jihad berebut meminangnya. Suriah menjadi tanah paling ideal baik secara geopolitik maupun geo-ideologis sebagai habitat jihad pasca revolusi Arab. Bahkan daya tarik ini dirasakan hingga luar kawasan. Tak ada aktifis jihad yang beraliran salafi di belahan bumi manapun kecuali tertarik untuk datang meminang.
Berawal dari Tunisia, merambah ke Mesir, Libya, Yaman dan tampaknya akan berakhir di Suriah. Tak ada yang menyangka sebelumnya bila ending “musim semi” Arab ini akan sangat bernuansa jihad bersenjata. Suriah menjadi “berkah di balik musibah” dengan makin matangnya bentuk akhir revolusi Arab menjadi Jihad fi Sabilillah. Corak yang sangat berbeda dibanding pemicu awal revolusi yang sekedar protes atas kezhaliman rezim.
Kalaupun kelak revolusi ini masih akan menyebar ke negara kawasan yang masih tenang, dinamika Suriah akan mempengaruhi revolusi tersebut, bukan semata protes atas kezhaliman penguasa, tapi sudah lebih puritan dengan aroma perang akhir zaman yang kuat. Perang sipil yang bertujuan mengenyahkan thoghut-thoghut Arab kaki tangan Barat atau menumpas ideologi jahat Syiah atau menekuk musuh abadi umat – Israel. Nafasnya sudah berganti menjadi pertarungan antara al-haqq yang ingin menumbangkan al-bathil, bukan lagi protes jalanan yang menuntut keadilan yang absurd dan kemakmuran yang semu khas tuntutan rakyat yang alam pikirannya serba materi dan nasionalistik.
Suriah, Revolusi Rakyat dengan Spirit Jihad
Konflik Suriah yang sangat brutal – paling brutal diantara yang lain – dengan korban yang mengerikan, waktu yang relatif panjang dan dukungan diam-diam terhadap rezim Bashar Asad dari negera kawasan baik Syiah, Israel maupun kaki tangan Barat yang khawatir bakal menguatnya sentiment jihad, membuat revolusi Suriah punya karakter yang khas. Jihad Suriah berhasil memantik sentimen solidaritas umat Islam dari seluruh kalangan karena melihat saudara mereka berjuang sendirian, satu-satunya sandaran hanya Allah kemudian umat Islam.
Faktor lain yang membuat konflik Suriah terasa khas, adalah banyaknya hadits-hadits nubuwat akhir zaman yang menyebutkan sisi stretagis Suriah, yang dalam istilah zaman Nabi saw disebut negeri Syam. Syam yang meliputi Suriah, Lebanon, Yordania dan Palestina, dinubuwatkan sebagai “negeri titik kumpul dan titik sebar” dan “markas kekuatan umat Islam akhir zaman”. Mujahidin seluruh dunia akan tersedot ke tanah Syam, lalu dari sana bertolak untuk melaksanakan misi penaklukan ke wilayah sekelilingnya.
Kenyataan lapangan dan dukungan spirit ideologi dari nubuwat, menjadikan Suriah memenuhi syarat untuk disebut sebagai basis jihad yang ideal. Jumlah kaum Sunni yang mayoritas juga dipandang sebagai modal kekuatan mujahidin yang hebat jika mampu dipoles dengan sentuhan dakwah salafiyah yang intensif dalam rangka mengikis sisa-sisa pemikiran nasionalisme dan liberalisme. Jihad yang berkecamuk selalu menjadi latar yang ideal untuk mengikis pola pikir nasionalisme dan pemikiran sesat lain. Semakin lama jihad hidup di Suriah, akan makin banyak alumninya yang steril dari syubuhat pemikiran, insyaallah.
Revolusi Arab, Titik Balik dari Salafi menjadi Jihadi
The Regional Center for Strategic Studies (RCSS), lembaga kajian strategis yang bermarkas di Cairo membuat analisa yang menarik tentang kebangkitan salafi jihadi pasca krisis Arab. Salafi dalam pandangan RCSS adalah semua aktifis ahlussunnah. Salafi secara umum dibagi dua, salafi ilmu dan salafi jihadi. Salafi ilmu adalah salafi yang anti kekerasan dalam manhajnya. Sementara salafi jihadi adalah salafi yang kuat mengusung tema jihad bersenjata dan perlawanan, baik kepada penguasa lokal maupun kekuatan global. Lihat http://rcssmideast.org/التحليلات/الأمن-الأقليمى/المظلة-الجهادية.html
Sebelum Arab spring, yang mendominasi Timur Tengah adalah salafi jinak, salafi sebagai spirit dakwah dan pengamalan sunnah. Bahkan terdapat trend eksodus kaum jihadis menjadi salafi jinak, misalnya kasus Jamaah Islamiyah dan Jamaah Jihad di Mesir, Jamaah Islamiyah al-Muqotilah di Libya dan FIS di Aljazair yang sebelumnya konsisten di jalur salafi jihadi yang kental nuansa konfrontasi, berpindah menjadi salafi damai. Tapi setelah pecah revolusi Arab, peta berbalik secara dramatis. Seluruh negara Timur Tengah bergemuruh berbondong-bondong pindah payung, tadinya payung salafi kalem, menjadi salafi jihadi.
Bahkan dalam analisa RCSS, kaum jihadi untuk bisa terjinakkan, memerlukan waktu yang sangat lama dan membutuhkan perdebatan ilmiah panjang. Sementara perpindahan dari salafi menjadi jihadi, punya kecepatan tak tertandingi. Peta salafi Timur Tengah dan Afrika Utara hari ini sudah didominasi oleh salafi jihadi, sebagai dampak langsung dari revolusi Arab. Jamaah Islamiyah Mesir yang sebelumnya sudah jinak, dengan revolusi Mesir, mereka kembali mengeluarkan jargon-jargon yang lebih dekat untuk dikategorikan jihadi. Semenanjung Sinai kini sudah menjelma menjadi markas kaum jihadis dengan memanfaatkan gurunnya yang luas.
Dan Suriah sebagai ending revolusi Arab menjadi kolam penampungan ideal bagi kaum salafi jihadi, atau setidaknya titik orientasi perjalanan. Bahkan para aktifis dari masing-masing negara sudah mencanangkan jargon: min huna nabda’ wa fie syam naltaqiy (dari sini kita berawal – merujuk tempat lokal masing-masing – dan di Syam kita akan bertemu). Tampaknya kawasan Suriah akan menjadi kampus jihad masa depan, setelah era 80-an hal itu terjadi di Afghanistan. Bukan hanya kampus, bahkan basis mujahidin yang siap menyebar ke kawasan dengan nafas jihad fi sabilillah yang murni.Semoga bertemu kembali sobat, di Syam ! ilalliqa’ fi Syam ! Wallahu a’lam.
sumber : lasdipo