Bukan sembarang konflik. Barangkali kalimat pendek itu cukup mewakili gambaran tragedi kemanusiaan yang terjadi di Suriah, sejak dua tahun silam. Konflik ini terjadi hampir bersamaan dengan gejolak politik di Tunisia dan Mesir. Banyak orang menyebutnya sebagai rangkaian Arab Spring. Bedanya, di Tunisia dan Mesir relatif tuntas. Penguasa lengser, tekanan dunia luar, dan habislah perkara.
Tetapi di Suriah, perang masih berlanjut. Meski ratusan ribu jiwa melayang dengan berbagai macam cara yang sungguh tak layak. Dibom, disiksa, disembelih, dikubur hidup-hidup. Sebagian lainnya disiksa, hingga ketika sekarat, dimasukkan dalam kontainer dan… ditenggelamkan di lautan. Semua demi menghilangkan jejak kejahatan kemanusiaan. Ratusan ribu lainnya terluka, dari sekadar lecet hingga cacat tetap. Dan jutaan lainnya terlunta-lunta mengungsi dari satu tempat ke tempat lain. Dr. Aisha, wanita asli Lattakia yang saya temui saata sama-sama bertugas di Rumah Sakit Lapangan Salma menggambarkannya sebagai, “Kami belum pernah melihat tragedi kemanusiaan setragis apa yang kami alami.”
Ribuan kesaksian sudah dicatat sejarah. Baik melalui pemberitaan wartawan yang terjun langsung di medan konflik, siaran “televisi internasional” bernama Youtube, dan lainnya. Pendeknya, jeritan rakyat Suriah telah melengking keras, menembus langit-langit kemanusiaan hingga batas terakhir. Meski demikian, tak cukup untuk meredam kejahatan kemanusiaan paling tragis saat ini. Begitu banyak alasan bagi dunia—termasuk sebagian orang Islam Indonesia—untuk bersikap blo’on terhadap apa yang terjadi di Suriah.
Ada yang menganggapnya “sekadar” konflik sekte, Syiah melawan Sunni. Konflik yang dipicu oleh pemahaman yang berbeda dalam madzhab fikih semata. Kaum Sunni yang sekian lama diperintah rezim Syiah ingin merebut kekuasaan, terjadilah perang yang berkelanjutan. Bagi orang yang menganggap Syiah bagian dari Islam, tentu akan menolak konflik Suriah sebagai perang agama. Yang terjadi hanyalah konflik beda madzhab. Titik!
Terkait nafsu haus nyawa dan darah yang dimiliki Bashar Assad yang sekaligus penganut paham Syiah Nushairiyah, sebagian orang buru-buru berusaha menutupi. “Syiah itu sebagaimana aliran lainnya. Ada personal yang baik, dan ada personal yang jahat.” Lebih parah lagi, seorang tokoh Islam di Solo, Jawa Tengah yang santer diisukan sebagai Syiah malah berkomentar, “Saya tidak mau mengkafirkan Bashar Assad. Terkait kejahatannya, saya juga tidak mau mengomentari, karena saya tidak kenal dengan Bashar Assad.”
Sementara, ada pula yang mengatakan ini adalah rekayasa Zionis Israel yang berkelindan-bahu dengan Amerika. Rezim Bashar Assad selama ini enggan diajak kerjasama dengan tetangganya yang bernama Israel. Alih-alih hidup rukun, Assad lebih memilih bermesraan dengan Iran, yang banyak dikesankan sebagai satu-satunya negara yang siap “menelan Israel mentah-menetah.” Israel merancang makar didukung Amerika. Memperalat warga lokal yang kemudian “beda madzhab” tadi, lalu terjadilah apa yang sekarang ini terjadi.
Penganut teori ini semakin yakin dengan pemahamannya, ketika Obama bersikeras akan menyerang rezim Assad pasca serangan senjata kimia di Gauthah, Damaskus beberapa waktu lalu. Seperti seirama dengan kelompok Syiah, rencana kehadiran Amerika menjadi cibiran bagi kelompok pemberontak dari kalangan Sunni. Di mata mereka, sebenarnya apa yang disebut banyak media Islams sebagai mujahidin, tak lain adalah antek dan kacung-kacung Amerika. “Sebentar lagi mereka akan berjihad melawan Assad bersama Panglima Amerika,” tulis seorang Facebooker dari kalangan Syiah di Indonesia.
Begitulah, tafsir atas tragedi kemanusiaan yang memilukan di Suriah dibuat sedemikian rumit dan njlimet, sehingga membuat orang lupa atas deret ukur jumlah korban yang belum mengenal tanda-tanda berakhir. Akhirnya, rakyat Suriah pun sendirian menghadapi hari-hari kelabu. Paling-paling hanya “ditemani” sekelompok orang yang masih memiliki kepedulian, entah dari relawan kemanusiaan, maupun sukarelawan jihad. Jumlah yang bila dibandingkan dengan isi dunia bagaikan tetesan air dari jari yang baru dicelupkan dan diangkat dari sebuah samudera.
Untuk sementara, katakanlah Syiah itu bagian dari Islam. Taruhlah bahwa ini hanya konflik madzab semata. Atau, anggap saja memang benar semua ini pekerjaan setan bernama Amerika yang berkelindan dengan Zionis Israel. Namun, apakah semua itu bisa menjadi stempel untuk mendiamkan kezaliman yang selama ini terjadi? Apakah hari ini kita mulai sepakat terhadap konsensus baru bahwa: korban konflik madzab, korban konspirasi Amerika-Israel tidak perlu ditanggapi serius. Sebaliknya, kita harus serius memikirkan konfliknya ketimbang korban. Kita harus lebih asyik membicarakan konspirasinya, daripada berbuat nyata demi menolong manusia. Sekali lagi, ini manusia, bukan benda mati!
Manusia itu tetaplah manusia. Seburuk apapun, pasti masih memiliki naluri untuk peduli terhadap penderitaan sesama. Kecuali bila kepentingan dan tendensi lain lebih besar yang menutupi rasa kemanusiaan itu. Pada akhirnya, ruwetnya tafsir konflik yang sengaja dibikin njlimet mengundang tanda-tanya, tendensi apa di balik semua sikap tak acuh kepada deret panjang daftar korban? Apakah konflik Suriah, yang di satu sisi dimaknai sebagai tragedi kemanusian, sekaligus menjadi penyingkap tabir kepentingan tertentu yang selama ini tersembunyi? Saya sebenarnya mulai meraba jawabnya. Namun sebagai relawan kemanusiaan, terus terang saya sulit menalarnya.
***
Abu Yahya | kontributor kiblat.net | pernah bergabung dalam misi kemanusiaan HASI di Suriah
kiblat.net
Tetapi di Suriah, perang masih berlanjut. Meski ratusan ribu jiwa melayang dengan berbagai macam cara yang sungguh tak layak. Dibom, disiksa, disembelih, dikubur hidup-hidup. Sebagian lainnya disiksa, hingga ketika sekarat, dimasukkan dalam kontainer dan… ditenggelamkan di lautan. Semua demi menghilangkan jejak kejahatan kemanusiaan. Ratusan ribu lainnya terluka, dari sekadar lecet hingga cacat tetap. Dan jutaan lainnya terlunta-lunta mengungsi dari satu tempat ke tempat lain. Dr. Aisha, wanita asli Lattakia yang saya temui saata sama-sama bertugas di Rumah Sakit Lapangan Salma menggambarkannya sebagai, “Kami belum pernah melihat tragedi kemanusiaan setragis apa yang kami alami.”
Ribuan kesaksian sudah dicatat sejarah. Baik melalui pemberitaan wartawan yang terjun langsung di medan konflik, siaran “televisi internasional” bernama Youtube, dan lainnya. Pendeknya, jeritan rakyat Suriah telah melengking keras, menembus langit-langit kemanusiaan hingga batas terakhir. Meski demikian, tak cukup untuk meredam kejahatan kemanusiaan paling tragis saat ini. Begitu banyak alasan bagi dunia—termasuk sebagian orang Islam Indonesia—untuk bersikap blo’on terhadap apa yang terjadi di Suriah.
Ada yang menganggapnya “sekadar” konflik sekte, Syiah melawan Sunni. Konflik yang dipicu oleh pemahaman yang berbeda dalam madzhab fikih semata. Kaum Sunni yang sekian lama diperintah rezim Syiah ingin merebut kekuasaan, terjadilah perang yang berkelanjutan. Bagi orang yang menganggap Syiah bagian dari Islam, tentu akan menolak konflik Suriah sebagai perang agama. Yang terjadi hanyalah konflik beda madzhab. Titik!
Terkait nafsu haus nyawa dan darah yang dimiliki Bashar Assad yang sekaligus penganut paham Syiah Nushairiyah, sebagian orang buru-buru berusaha menutupi. “Syiah itu sebagaimana aliran lainnya. Ada personal yang baik, dan ada personal yang jahat.” Lebih parah lagi, seorang tokoh Islam di Solo, Jawa Tengah yang santer diisukan sebagai Syiah malah berkomentar, “Saya tidak mau mengkafirkan Bashar Assad. Terkait kejahatannya, saya juga tidak mau mengomentari, karena saya tidak kenal dengan Bashar Assad.”
Sementara, ada pula yang mengatakan ini adalah rekayasa Zionis Israel yang berkelindan-bahu dengan Amerika. Rezim Bashar Assad selama ini enggan diajak kerjasama dengan tetangganya yang bernama Israel. Alih-alih hidup rukun, Assad lebih memilih bermesraan dengan Iran, yang banyak dikesankan sebagai satu-satunya negara yang siap “menelan Israel mentah-menetah.” Israel merancang makar didukung Amerika. Memperalat warga lokal yang kemudian “beda madzhab” tadi, lalu terjadilah apa yang sekarang ini terjadi.
Penganut teori ini semakin yakin dengan pemahamannya, ketika Obama bersikeras akan menyerang rezim Assad pasca serangan senjata kimia di Gauthah, Damaskus beberapa waktu lalu. Seperti seirama dengan kelompok Syiah, rencana kehadiran Amerika menjadi cibiran bagi kelompok pemberontak dari kalangan Sunni. Di mata mereka, sebenarnya apa yang disebut banyak media Islams sebagai mujahidin, tak lain adalah antek dan kacung-kacung Amerika. “Sebentar lagi mereka akan berjihad melawan Assad bersama Panglima Amerika,” tulis seorang Facebooker dari kalangan Syiah di Indonesia.
Begitulah, tafsir atas tragedi kemanusiaan yang memilukan di Suriah dibuat sedemikian rumit dan njlimet, sehingga membuat orang lupa atas deret ukur jumlah korban yang belum mengenal tanda-tanda berakhir. Akhirnya, rakyat Suriah pun sendirian menghadapi hari-hari kelabu. Paling-paling hanya “ditemani” sekelompok orang yang masih memiliki kepedulian, entah dari relawan kemanusiaan, maupun sukarelawan jihad. Jumlah yang bila dibandingkan dengan isi dunia bagaikan tetesan air dari jari yang baru dicelupkan dan diangkat dari sebuah samudera.
Untuk sementara, katakanlah Syiah itu bagian dari Islam. Taruhlah bahwa ini hanya konflik madzab semata. Atau, anggap saja memang benar semua ini pekerjaan setan bernama Amerika yang berkelindan dengan Zionis Israel. Namun, apakah semua itu bisa menjadi stempel untuk mendiamkan kezaliman yang selama ini terjadi? Apakah hari ini kita mulai sepakat terhadap konsensus baru bahwa: korban konflik madzab, korban konspirasi Amerika-Israel tidak perlu ditanggapi serius. Sebaliknya, kita harus serius memikirkan konfliknya ketimbang korban. Kita harus lebih asyik membicarakan konspirasinya, daripada berbuat nyata demi menolong manusia. Sekali lagi, ini manusia, bukan benda mati!
Manusia itu tetaplah manusia. Seburuk apapun, pasti masih memiliki naluri untuk peduli terhadap penderitaan sesama. Kecuali bila kepentingan dan tendensi lain lebih besar yang menutupi rasa kemanusiaan itu. Pada akhirnya, ruwetnya tafsir konflik yang sengaja dibikin njlimet mengundang tanda-tanya, tendensi apa di balik semua sikap tak acuh kepada deret panjang daftar korban? Apakah konflik Suriah, yang di satu sisi dimaknai sebagai tragedi kemanusian, sekaligus menjadi penyingkap tabir kepentingan tertentu yang selama ini tersembunyi? Saya sebenarnya mulai meraba jawabnya. Namun sebagai relawan kemanusiaan, terus terang saya sulit menalarnya.
***
Abu Yahya | kontributor kiblat.net | pernah bergabung dalam misi kemanusiaan HASI di Suriah
kiblat.net
0 komentar:
Posting Komentar